Arsip untuk Desember, 2010

VISI MAHASISWA KEDEPAN

Posted: Desember 27, 2010 in Uncategorized

Mahasiswa tidak dapat dilepaskan dari perannya sebagai agent of change (pelaku perubahan), agent of development (pelaku pembangunan) dan agent of reformations (pelaku pembaharuan). Jika dilihat dari adanya polarisasi pemikiran dan tantangan bangsa yang sangat berat yaitu harus mampu mengelaborasikan nilai-nilai religious kedalam seluruh dimensi kehidupan yang serba komplek ini. Mahasiswa harus berperan sebagai pelaku perubahan menuju kepada dinamika konstruksi dalam mencermati setiap persoalan kebangsaan. Dalam kaitan ini moral harus dikedepankan agar menjadi muatan positif dalam menatap masa depan bangsa, sehingga keberadaan mahasiswa tidak terbawa arus negative globalisasi (seperti pengaruh narkoba, tawuran, miras dan pergaulan bebas) yang menjadi fenomena sekaligus tantangan yang dihadapi bangsa ini.

Dalam kerangka inilah di butuhkan sebuah visi mahasiswa kedepan dalam upaya memperbaiki bangsa dalam menegakkan nilai-nilai budaya serta relegiusitas bangsa yang telah tercabik-cabik. Sosok mahasiswa kedepan paling tidak harus dengan empat kriteria:

  1. Mahasiswa harus memiliki kemandirian.
  2. Mahasiswa harus memiliki kapasitas intelektual yang memadai.
  3. Mahasiswa harus memiliki integritas kebangsaan.
  4. Mahasiswa harus memiliki akhlak yang bagus kedepannya.

Dalam rangka aktualisasi keempat karakter diatas, maka yang harus menjadi pijakan utama adalah memiliki kapasitas intelektual. Mahasiswa harus mampu berpikir atau memiliki mind set global. Tidak parsialistik lagi dengan mengusung semangat fanatisme terhadap semua paham yang akan mengakibatkan penyimpangan.

Selain hal tersebut diatas, ada beberapa hal yang membuat mahasiswa menjadi makhluk terbaik ditengah kencangnya arus globalisasi tersebut antara lain:

  1. Mahasiswa harus mempunyai kecerdasan spritualisasi (SQ) yaitu kemampuan memberi makna hidup sebagai puncak spritual. Contohnya: semua aktivitas harus bernilai ibadah.
  2. Mahasiswa harus memiliki kecerdasan emosi (EQ) yaitu kemampuan mengendalikan emosi serta mendengar suara hati sebagai sumber innformasi. Contohnya: komitmen, loyalitas, kepekaan, motivasi, dan empati.
  3. Mahasiswa harus mempunyai kecerdasan intelektual (IQ) yaitu kemampuan intelektual, analisis dan rasio.

Untuk itu merumuskan suatu visi mahasiswa dalam menatap masa depan bangsa menjadi sebuah keniscayaan. Visi mahasiswa kedepan adalah mahasiswa yang memiliki integritas akhlak, memiliki wawasan kedepan dan komitmen akan nilai-nilai kebangsaan dan ke Indonesia.

ONONG UCHJANA EFFENDI mengatakan bahwa GOVERNMENT RELATIONS adalah komunikasi dua arah secara timbal balik yang dilakukan suatu organisasi dengan instansi pemerintah dalam rangka membina kerja sama yang akrab demi kepentingan yang di landasi asas saling pengertian dan saling mempercayai.

RHENALD KASALI mengatakan bahwa GOVERNMENT RELATIONS adalah suatu bagian khusus dari tugas public relations yang membangun dan memelihara hubungan dengan pemerintah terutama untuk kepentingan mempengaruhi peraturan dan perundang-undangan.

CHILIP mengatakan bahwa GOVERNMENT RELATIONS adalah suatu bagian khusus dari tugas public relations yang membangun dan memelihara hubungan dengan masyarakat lokal dan pemerintahan sekaligus memberikan perintah untuk mempengaruhi kebijakan publik.

Tujuan government relations bagi praktisi humas perusahaan berdekatan dengan pemerintah antara lain:

  1. Meningkatkan komunikasi dengan pejabat pemerintah dan lembaga tinggi negara.
  2. Memantau lembaga pembuat keputusan dan peraturan pada area yang mempengaruhi bidang usaha.
  3. Mempengaruhi undang-undang yang berdampak pada ekonomi rakyat dan pelaksanaannya.
  4. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman para pembuat keputusan.
  5. Mengurangi ketidakpastian karena tidak dapak membaca tanda-tanda peraturan.
  6. Mempercepat keluarnya keputusan yang berkaitan dengan operasional perusahaan.
  7. Meningkatkan pemahaman antara instansi/lembaga yang satu dengan yang lainnya.
  8. Mendapatkan perlindungan dan pembelaan oleh pemerintah ketika masa kritis.

Di dalam keberlangsungan suatu perusahaan pemerintah (government) mempunyai pengaruh yang sangat besar. Hal ini di karena pemerintah memiliki posisi-posisi yang sangat mempengaruhi perusahaan.

Adapun posisi government di mata perusahaan di antaranya:

  1. Penyedia modal.
  2. Penarik minat investasi asing.
  3. Pembuat peraturan.
  4. Melindungi sumber daya alam.
  5. Penyedia lapangan pekerjaan.
  6. Pelindung para pekerja/karyawan.
  7. Pelindung pada masa krisis.

EFEK KOMUNIKASI MASSA

Posted: Desember 15, 2010 in Uncategorized

A.         Efek Kehadiran Media Massa

Menurut McLuhan, bentuk media saja sudah mempengaruhi kita. “The mediumis the message,” ujar McLuhan. Medium saja sudah menjadi pesan. Ia bahkan menolak pengaruh pengaruh isi pesan sama sekali (lihat: McLuhan, 1964). Yang mempengauhi kita bukan apa yang disampaikan media, tetapi jenis media komunikasi yang kita bukan apa yang disampaikan media, tetapi jenis media , tetapi jenis media komunikasi jita pergunakan-interpersonal, media cetak, atau televisi.

Teori McLuhan, disebut teori perpanjangan alat indra (sense extension theory), menyatakan bahwa media adalah perluasan dari alat indra manusia; telepon adalah perpanjangan teliga dan telivisi adalah perpanjangan mata. Seperti Gatutkaca, yang mampu melihat dan mendengar dari jarak jauh, begitu pula manusia yang menggunakan media massa. McLuhan menulis, “secra operasional dan praktis, medium adalah pesan. Ini berarti bahwa akibat-akibat personal dan social dari media yakni karena perpanjangan diri kita timbul karena skala baru baru yang dimasukkan pada kehidupan kita oleh perluasan diri kita atau oleh teknologi baru media adalah pesan karena media  membentuk dan mengenedalikan skala serta bentuk hubungan dan tindakan manusia.” (McLuhan, 1964: 23-24)

Menurut Steven H. Chaffee Efek Media Massa ada 5 macam :

1.      Efek ekonomis.
2.      Efek sosial.
3.      Efek pada penjadwalan kegitan.
4.      Efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu.
5.      Efek pada perasaan orang terhadap media.
 

B.          Efek Kognitif Komunikasi Massa

Wilbur Schramm (1977:13) mendefinisikan informasi sebagai segala sesuatu yang mengurangi ketidakpastian atau mengurangi jumlah kemungkinan alternative dalam situsai. Misalkan, seorang insinyur genetis dating dan memberitahukan bahwa makhluk itu adalah “chimera’, hasil perkawinan gen manusia dengan gen monyet. Ketidakpastian Anda berkurang, dan alternative tindakan yang harus anda lakukan juga berkurang. Bila setelah Anda tanyakan makhluk itu ternyata jinak dan cerdas, maka makin sedikit alternative tindakan Anda. Sekarang realitas itu sekarang tampak sebagai gambaran yang mempunyai makna. Gambaran tersebut citra (image), yang menurut Roberts (1977) “representing the totality of all information about the world any individual has processed, organized, and stored” (Menunjukkan keseluruhan informasi tentang dunia ini yang diolah, diorganisasikan, dan disimpan indivudu).

Citra adalah peta anda tentang dunia. Tanpa citra anda akan selalu berada dalam suasana yang tidak pasti. Citra adalah gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan raelitas. Citra adalah dunia menurut persepsi kita. Walter Lippman (1965) menyebutnya “pictures in orur head”.  Kita agak banyak mengulas tentang citra, sebelum membicrakan efek kognitif komunikasi massa. “Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu”, ujar Roberts (1977), “tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan; dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku.” Demikian pula komunikasi massa.

Kita akan mulai menelaah efek kognitif komunikasi pada pembentukan dan perubahan citra. Setelah itu, kita akan memperkenalkan teori Agenda Setting, yang sebelumnya merupakan sofistifikasi (percanggihan, penguraian) dari pembentukan citra. Akhirnya, akan kita laporkan efek prososial kognitif media massa, yakni bagaimana media massa membantu khalayak mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam media massa Amerika, kelompok minoritas sering ditamoilkan dalam stereotip yang merendahkan: Orang Negro bodoh, malas, dan curang; rang Indian liar dan ganas, orang Asia umumnya pekerja kasar, seperti pelayan, tukang cuci, dan tukang masak; oang kulit putih tentu sering muncuol sebagai “yang punya lakon” (U.S. Commision on Civil Rights, 1977). Dalam film-film Indonesia wanitia sering ditampilkan makhluk cengeng, senang kemewahan, dan seringkali cerewet (Belum didasarkan pada penelitian empiris). Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus-menerus, akan menciptakan stereotip pada diri khalayak komunikasi massa tentang orang objek atau lembaga.

Di sinilah bahaya media massa terasa. Para kritikus social memandang komunikasi massa sebagai ancaman terhadap nilai dan rasionalitas manusia. Ernest van den Haag (1958) menulis dengan tajam :

All mass media in the end elienate people from personal experience and, though apprearing to offset it, intensify their moral isolation from each other, from reality and from themselves. One may turn to the mass media when lonely or bored. But mass media, once they become a habit, impair the capacity for meaningful experience. ( Semua media massa pada akhirnya mengasingkan orang dari pengalaman personalnya, dan walaupun tampak menggocangkannya, media massa memperluas isolasi moral sehingga mereka terasing dari yang lain, dan realitas dari diri mereka sendiri. Orang mungkin berpaling pada media massa bila ia kesepian atau bosan. Tetapi sekali media massa menjadi kebiasaan, media massa dapat merusak kemampuan memperoleh pengalaman yang bermakna).

Menurut van den Haag dan kritikus social lainnya, media massa menimbulkan depersonalisasi dan dehumanisasi manusia. Media massa menyajikan bukan saja realitas kedua, tetapi karena distorsi, media massa juga “menipu” manusia; memberikan citra dunia yang keliru. Dalam terminology C. Wright Mills, media massa memberikan rumus hidup yang didasarkan pada “pseudoworld’ (dunia pulasan), yang tidak “attuned to the development of  thehuman being” (Mills, 1968)- yang dengan perkembangan manusia.

Lee Loevionger (1968) mengemukakan teori komunikasi yamg disebutnya sebagai “reflective-projective theory”. Teori ini beranggapan bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang mencerminkan suatu citra yang ambigu menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam sehingga pada media massa mencerminkan citra khalayak, dan khalayak mempproyeksikan citranya pada penyajiannya media massa.

Klapper, tokoh controversial yamg menumbangkan “The Power ful Media”, melihat bukan saja media mempertahankan citra khalayak; media lebih cenderung menyokong status qua ketimbang perubahan. Informasi dipilih yang sedapat mungkin tidak terlalu menggoncangkan status qua. Roberts (1977) menganggap kecenderungan ini timbul karena tiga hal :

  1. Reporter dan editor memendang dan menafsirkan dunia sesuai dengan citranya tentang realitas kepercayaan, nilai, dan norma. Karena citra itu disesuai dengan norma yang ada, maka ia cenderung tidak melihat atau mengabaikan alternative lain untuk mempersepsi dunia.
  2. Wartawan selalu memberikan respons pada tekanan hal;us yang memrupakn kebijsaksanaan pemimpin media.
  3. Media massa cenderungmenghindari hal-hal yang controversial, karena khawatir hal-hal tersebut akan menurunkan volume khalayaknya. Audience share (andil khalayak)dikhawatir direbutoleh media saingan. Dengan begitu, yang paling aman ialah menampilkan dunia sependapat mungkin seoerti yang diharapkan oleh kebanyakan khalyak.

Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa. Misalnya selama beberapa tahun orang-orang  Amerika memendang Nixon sebagai seorang pemimpin yang baik, sampai dua orang wartawan membongkar skandal Watergate. Mereka harus mengubah citranya. Mereka memprotes dan Nixon jatuh.

C.         Efek Afektif Komunikasi Massa

Efek Afektif Komunikasi Komunikasi mempunyai efek sebagai berikut :

Pembentukan dan Perubahan Sikap

Pada tahun, Joseph Klapper melaporkan hasil penelitian yang komprehensif tentang efek media massa. Dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum :

  1. Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh factor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotan    kelompok (atau hal-hal yang dalam buku ini disebut factor personal).
  2. Karena factor-faktor ini, komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media pengubah (agent of change).
  3. bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada “konversi” (perubahan seluruh sikap) dari satu sisin masalah kesisi yang lain.
  4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang –bidang dimana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial.
  5. Komunukasi massa cukup afektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bial tidak ada predisposisi yang harus diperteguh (Oskamp, 1977:149).

Rangsangan Emosional

Anda mungkin mengalami atau melihat orang lain pernah mengalami perasaan sedih dan menangis terisak-isak ketika menyaksikan adegan yang mengharukan dalam sandiwara televise atau film. Kita mengenal film-film “cengeng” yang mendramatisasikan tragedi. Kita juga mengetahui novel-novel melankolis yang dimaksud untuk meneteskan air mata pembacanya. Jutaan rakyat India menangis menyaksikan siaran kematian Indira Gandhi; jutaan rakyat Iran meneteskan air mata ketika kematian Ayatullah Mutahhari dipancarkan stasiun radio dan televise; dan jutaan rakyat Amerika tidak sanggup menahan keharuan yang mendalam kerika penembakan Kennedy nmereka saksikan dilayar televisi. Suasana emosional yang mendahului terpaan stimuli mewarnai respons kita pada stimuli itu.

Ada bebarapa factor yang mempengaruhi  intensitas emosional diantara :

  1. Menurut  Penelitian Murray, Lueba, Lucas, Shachter dan Wheeler (1962) menemukan bahwa subjek penelitian yang telah diberi obat yang merangsang system saraf simpatetisnya menganggap adegan komedi lebih lucu daripada subjek-subjek yang diberi placebo (pil yang tidak mengundang apa-apa). Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa respons anda pada film, sandiwara televise, atau novel akan dipengaruhi oleh suasana emosional anda. Misalnya, film-film sedih akan sangat mengharukan Anda, setelah anda sendiri mengalami kekecewaan sebelumnya. Adegan-adegan lucu menyebabkan anda tertawa terbahak-bahak bila anda menonton nya setelah mendapat keuntungan yang tidak disangka-sangka.
  2. Skema kognitif, ini adalah semacam “naskah” pada pikiran kita yang menjelaskan “alur’ peristiwa. Kita tahu bahwa dalam film, ”yang punya lakon” akan menang pada akhirnya. Karena itu, kita tidak terlalu cemas ketika pahlawan kita jatuh dari jurang. Kita menduga pasti ia akan tertolong juga. Menurut Walter weiss (1969, V: 93), “ Kesadaran bahwa sang pahlawan dalam kebanyakan cerita, cenderung memoderatkan goncangan emosional ketika sang pahlawan ditempatkan dalam situasi berbahaya menakutkan”. Karena alasan inilah, kita mungkin sangat kecewa ketika kita mengetahui pada akhir cerita Mr. Horn memporak perandakan skema kognotif kita, yang terbentuk dari pengalaman kita.
  3. Suasana terpaan (seting of exposure). Anda akan sangat ketakutan menonton film horror bila anda menontonnya sendirian dirumah tua, ketika hujan lebat, dan tiang-tiang rumah berderik. Beberapa penelitian yang dilaporkan Weiss menunjukkan bahwa anak mempengaruhi emosi Anda pada waktu memberikan respons. Ketakutan, juga emosi lainnya, memang mudah menular.
  4. Faktor predisposisi individual mengacu pada karakteristik khas individu. Orang yang melankolis cenderung menanggapi tragedy lebih terharu daripada orang periang. Sebaliknya orang periang akan lebih terhibur oleh adegan lucu daripada orang melankolis.
  5. Faktor indentifikasi menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat dengan tokoh yang ditamoilkan dalam media massa. Dengan identifikasi penonton, pembaca, atau pendengar menempatkan dirinya dalam posisi tokoh. Ia ikut merasakan apa yang dirasakan tokoh . karena itu, ketika tokoh identifikasi (disebut identifikan) itu kalah, ia juga kecewa; ketika identifikasi berhasil itu kalah, ia ikut gembira. Mungkin juga kita menganggap seorang tokoh dalam televise atau film sebagai lawan kita. Yang terjadi sekrang ialah disidentifikasi. Dalam posisi seperti ini, kita gembira bila diindentifikan celaka, dan jengkel bila ia berhasil . Semuanya ini menunjukkan bahwa makin tinggi identifikasi (atau disidentifikasi) kita dengan tokoh yang disajikan, makin besar intensitas emosional pada diri kita akibat terpaan pesan media massa.

Rangsangan Seksual

Sejenis rangsangan emosional yang banyak dibicarakan orang adalah rangsangan seksual akibat adegan-adegan merangsang dalam media massa. Bahan-bahan erotis dalam televise, film, majalah, buku, dan sebagainya, biasanya disebut “pornografi”. Karena istilah ini terlalu abstrak , beberapa orang ahli menggunakan istilah SEM (sexually explicit materils0 atau erotica (Tan, 1981 : 231-242). Diduga oleh kebanyakan orang dan diyakini oleh sejumlah orang bahwa erotica merangsang gairah seksual, meruntuhkan nilai-nilai moral, mendorong orang gila seks, atau menggalakkan perkosaan.

Menurut Lembaga The Commission on Obscenity and Pornography di Amerika Serikat menyimpulkan penelitiannya bahwa terpaan erotika, walaupun singkat bias membangkitkan gairah seksual pada kebanyakan pria dan wanitia; disamping itu ia juga menimbulkan reaksi-reaksi omosional lainnya seperti “resah”, “impulsive”, dan “gelisah”.

Stimuli erotis adalah stimuli yang membangkitkan gairah seksual internal dan eksternal. Stimuli internal ialah perangsang yamg timbul dari mekanisme dalam tubuh organisme, misalnya pada binatang ialah adanya perubahan hormonal pada bulan-bulan tertentu yang merupakan musim berkelamin. Stimuli eksternal merupakan petunjuk-petunjuk (cues) yang bersifat visual, berupa bau-bauan (olfactory), sentuhan (tactual), atau gerakan (kinesthetic).

Manusia juga dapat terangsang karena imajinasi. Byrne dan Lamberth melakukan eksperimen untuk meneliti kekuatan beberapa stimuli erotis, dan gambar-gambar erotis. Seringkali efek imajinasi ini dibantu oleh memori yang ada. Stimuli erotis pada media massa menimbulkan tingkat rangsangan yang berlainan bagi orang yang mempunyai pengalaman yang berbeda. Griffitt (1975) menunjukkan bahwa makin banyak pengalaman seksual seseorang, makin mudah ia terangsang  oleh adegan-adegan seksual. I pula bahwa pada wanita hubungan antara pengalaman dan rangsangan itu sangat menonjol.

Pornografi tidak cukup didefinisikan sebagai gambar-gambar atau adegan-adegan yang merangsang, sebab rangsangan sangat tergantung pada orangnya. Tetapi beberapa orang peneliti telah menemukan foto-foto atau adegan-adegan yang secara universal menimbulkan rangsangan seksual yang kuat. Baron dan Bryne (1979) melaporkan, beberapa penelitian, baik di Amerika maupun di Jerman, yang menunjukkan hal-hal tertentu. Misalnya, mereka mengutip penelitian Schmidt dan Sigusch yang mengunakan slides, sejak slides yang mengambarkan orang yang berciuman sampai coitus. Berbagai  gambar ternyata menunjukkan tingkat rangsangan seksual yang berbeda.

D.        Efek Behavioral Komunikasi Massa.

Pada waktu membicarakan efek kehadiran media massa, secara sepintas kita juga telah menyebutkan efek behavioral seperti pengalihan kegiatan dan penjadwalan pekerjaan sehari-hari. Disitu, kita melihat pada media massa semata-mata sebagai benda fisik. Disini, kita meneliti juga efek pesan media massa pada media massa pada perilaku khalayak. Perilaku meliputi bidang yang luas; yang kita pilih dan yang paling sering dibicarakan ialah efek komunikasi massa pada perilaku social yang diterima (efek prososial behavioral) dan pada perilaku agresif.

Efek Prososial Behavioral

Salah satu perilaku prososial ialah memilki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Keterampilan seperti ini biasanya diperoleh dari saluran-saluran interpersonal: orang tua, atasan, pelatih, atau guru.

Teori psikologi yang dapat menjelaskan efek prososial media massa adalah teori belajar social . kita belajar bukan saja dari pengalamn langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling) perilaku merupakan hasil factor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.(Bandura: 28)

Agresi sebagai Efek Komunikasi Massa

Menurut teori beljar social dari bandura, orang  cenderung meniru perilaku yang diamati; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Orang belajar bahasa Indonesia yang baik setelah mengamatinya dalam televise. Wanita juga meniru potongan rambut Lady Di yang disiarkan dalam media massa. Selanjutnya, kita juga dapat menduga bahwa penyajian cerita atau adegan kekerasan dalam media massa akan menyebabkan orang melakukan kekerasan pula; dengan kata lain, mendorong orang menjadi agresif.

Secara singkat, hasil penelitian tentang efek adegan kekerasan dalam film atau televise dapat disimpulkan pada tiga tahap:

  1. mula-mula penonton mempelajari metode agresi setelah melihat contoh (observational learning );
  2. selanjutnya, kemampuan penonton untuk mengendalikan dirinya berkurang (disinhibition)
  3.  akhirnya, mereka tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi (desensitization). Jadi, film kekerasan mengajarkan agresi, mengurangi kendali moral penontonnya, dan menumpulkan perasaan mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya; Bandung, 2005

Bandura, A. Social learning Theory, Englewood Cliffs: Prentice-Hall; 1977

Canggara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Raja grafindo Persada; Jakarta, 2008

Effendy, Uchhjana, Onong, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya; Bandung, 2007

CARA KERJA SCANNER

Posted: Desember 15, 2010 in Uncategorized

A.        Pengertian Scanner

Scanner   adalah  suatu  alat   elektronik  yang   fungsinya  mirip dengan mesin  fotokopi.  Mesin  fotocopy hasilnya dapat   langsung kamu  lihat  pada kertas sedangkan scanner hasilnya ditampilkan pada layar monitor komputer dahulu kemudian baru dapat  dirubah dan dimodifikasi  sehingga  tampilan dan hasilnya menjadi bagus yang kemudian dapat disimpan sebagai file text, dokumen dan gambar.

Scanner yaitu alat yang dapat menghasilkan salinan sebuah image yang berupa gambar (objek) atau teks disimpan dalamsebuah file yang berekstensi bmp, jpg dan doc. Scanner sebagai alat untuk memasukkan data berupa gambar atau foto Hasil kopian dari scanner dapat diolah atau dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan suatu image dapat berupa: gambar, foto, grafis dan teks yang dapat diolah dengan aplikasi pengolah gambar misalnya: Deluxe Photo Studio, Photo Shop, Corel Draw, PageMarker dan ArcShop Photo Studio dan lain-lain.

Bentuk   dan   ukuran   scanner bermacam-macam,   ada   yang besarnya   seukuran   dengan   kertas folio   ada   juga   yang   seukuran postcard,   bahkan   yang   terbaru, berbentuk   pena   yang   baru diluncurkan oleh perusahaan WizCom Technologies Inc. Scanner berukuran pena   tersebut   bisa   menyimpan   hingga   1.000   halaman   teks   cetak   dan kemudian   mentransfernya   ke   sebuah   komputer   pribadi   (PC).   Scanner berukuran pena tersebut dinamakan Quicklink.  Pena scanner  itu berukuran panjang enam  inci  dan beratnya sekitar tiga ons.  Scanner tersebut menurut WizCom dapat melakukan pekerjaannya secara acak lebih cepat dari scanner yang berbentuk datar.

Jenis lain dari scanner adalah Optical Mark Reader (OMR) yang biasanya digunakan untuk membaca dokumen. OMR banyak digunakan untuk memriksa hasil ujian ataupun pada saat penerimaan mahasiswa baru. OMR akan membaca mark (tanda) yang diberikan pada lembar kertas. Tanda ini biasanya dibuat dengan menggunakan pensil 2B. Dengan menentukan posisi baris dan kolom pada kertas yang bersangkutan, dan kemudian dikonversikan pada tabel yang dimiliki, maka OMR bisa mengetahui jawaban yang diberikan salah atau benar

Data yang  telah diambil  dengan scanner  itu, bisa dimasukkan  secara langsung   ke   semua   aplikasi   komputer yang mengenali teks ASCII. Pada  saat   ini  banyak  sekali   scanner  yang beredar  di  dunia dengan berbagai  merk  pula,  Di   antaranya   scanner   keluaran dari  Canon,  Hewlett Packard ( HP ), EPSON, UMAX dan masih banyak lagi.    Perbedaan   tiap   scanner   dari   berbagai   merk   terletak   pada   pemakaian teknologi   dan   resolusinya.   Pemakaian   teknologi   misalnya   penggunaan tombol-tombol digital dan teknik pencahayaan.

 

B. Cara Kerja Scanner

Scanner adalah alat inputan komputer dengancara kerjanya yaitu membaca gambar menggunakan sinar kemudian hasilnyadimasukkan kedalam komputer berupa gambar. Scanner merupakan perangkat yang cara kerjanya sama dengan cara kerjanya mesin fotocopy.

Ketika kamu menekan tombol mouse untuk memulai Scanning, yang terjadi adalah:

  1. Penekanan  tombol  mouse dari  komputer  menggerakkan pengendali kecepatan pada  mesin  scanner.  Mesin  yang   terletak  dalam  scanner tersebut mengendalikan proses pengiriman ke unit scanning.
  2. Kemudian unit scanning menempatkan proses pengiriman ke tempat atau jalur yang sesuai untuk langsung memulai scanning.
  3. Nyala lampu yang terlihat pada Scanner menandakan bahwa kegiatan scanning sudah mulai dilakukan.
  4.  Setelah nyala lampu sudah tidak ada, berarti proses scan sudah selesai dan hasilnya dapat dilihat pada layar monitor.
  5. Apabila hasil  atau tampilan teks / gambar  ingin dirubah,  kita dapat merubahnya  dengan menggunakan   software-software   aplikasi  yang ada. Misalnya dengan photoshop, Adobe dan lain- lain. pot scanned.

Ada   dua   macam   perbedaan   scanner   dalam   memeriksa   gambar   yang berwarna yaitu:

  1.  Scanner yang hanya bisa satu kali meng-scan warna dan menyimpan semua warna pada saat itu saja.
  2.  Scanner  yang  langsung bisa  tiga  kali  digunakan untuk menyimpan beberapa warna. Warna-warna tersebut adalah merah, hijau dan biru.

Scaner yang disebut pertama lebih cepat dibandingkan dengan yang kedua, tetapi   menjadi   kurang   bagus   jika   digunakan   untuk   reproduksi   warna. Kebanyakan scanner dijalankan pada 1-bit (binary digit / angka biner), 8-bit (256   warna),   dan   24   bit   (lebih   dari   16   juta   warna).   Nah,   bila   kita membutuhkan   hasil   yang   sangat   baik   maka   dianjurtkan   menggunakan scanner dengan bit yang besar agar resolusi warna lebih banyak dan bagus.

Perbedaan antara scanner dan fotocopy ialah pada mesin fotocopy hasilnya bisa langsung diperoleh atau ditampilkan pada sebuah kertas Sedangkan pada scanner hasilnya akan ditampilkan pada layar monitor atau dimasukkan kedalam komputer dahulu untuk diproses kemudian dicetak.

Cara menginstal scanner dari menu run diantaranya: Masukan CD drive, klik menu start, klik menu run, setelah dilayar muncul tampilannya. Pada kotak baris lok in klik tanda panah bawah, setelah dilayar muncul tampilannya. Klik pada pilihan CANOSCAN [F:] setelah dilayar muncul tampilannya, klik pada pilihan setup, klik tombol Open, setelah muncul tampilannya, klik tombol OK, setelah muncul tampilannya, klik pada pilihan english, setelah muncul tampilannya, klik pada pilihan Install the Software, setelah muncul tampilannya, klik tombol Yes, setelah muncul tampilannya, klik tombol Yes, setelah muncul tampilannya, klik pada pilihan Start Instalation, setelah muncul tampilannya, klik tombol Yes, setelah muncul tampilannya. Pilih bahasa yang diinginkan, lalu klik tombol OK, setelah muncul tampilannya, klik tombol Yes, setelah muncul tampilannya, klik tombol Next, setelah muncul tampilannya Klik tombol Next lagi, setelah itu Klik tombol Finish.

Cara menginstal scanner melalui control panel diantaranya: Masukan CD drive klik tombol Start, klik pada pilihan Control Panel, setelah muncul tampilannya, klik pada pilihan Caere Scan Manager 5.2, setelah muncul tampilannya, klik pada pilihan Add Scanner, setelah muncul tampilannya, klik pada pilihan Canon, klik pada pilihan CanoScan D64GU, klik tombol Next, setelah muncul tampilannya, klik tombol Next, setelah muncul tampilannya, dan klik tombol Finish.

Menyimpan image hasil proses scanning diantaranya: klik menu File, klik pada pilihan save as, setelah muncul tampilannya. Pada kotak baris isian save in, tentukan folder tempat file tersebut akan disimpan. Pada kotak isian File name, ketik nama file. Pada kotak isian save as type pilih jpeg file (JPG/JPEG), untuk menentukan jenis file yang berakhiran JPG dan klik tombol save.

Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaruan hukum. Dikatakan bahwa memperkuat institusi-institusi hukum adalah ‘precondition for economic change”, ‘crucial to the viability of new political systems’, and “an agent of social change’.[1]

Pada tahun 1966 Congress Amerika mengundangkan “Foreign Assistance Act of 1966” untuk membantu pembangunan negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan memperbarui dan memperkuat sistim hukum yang dianggap dapat mendorong terjadinya perubahan sosial dan pembangunan ekonomi Suatu team dari  The Center for International Studies of New York University yang anggota-anggotanya terdiri  dari ahli hukum, ahli ilmu politik. mantan hakim, aktifis bantuan hukum dan ahli Afrika serta Korea mengunjungi berbagai negara Asia. Afrika dan Amerika Latin, Mereka agak terkejut karena menemukan perbedaan yang mendasar antara negara-negara berkembang  dan yang dewasa ini  disebut negara-negara maju mengenai tahap-tahap pembangunan bangsa.

Ahli-ahli ilmu sosial di Barat pada umumnya mencatat bahwa bangsa-bangsa menjalani tiga tahap pembangunan satu demi satu ;  ‘unification’, “industrialization” dan  ‘social welfare’ Diakui parlemen, pengadilan dan para sarjana hukum di pemerintahan serta professi hukum berperanan besar dalam tiap tahap pembangunan  tersebut. Hukum. institusi hukum dan sarjana hukum, memainkan peranan yang penting untuk membawa perubahan kepada sistim norma-norma dan nilai-nilai baru dalam tiap tahap pembangunan.[2] Amerika memasuki era Industrialisasi setelah setengah  abad kemerdekaan negara itu.  yaitu menjelang perang saudara pada tahun 1840an. Baru pada tahun 1950-an negara itu secara cepat memasuki era negara kesejahteraan, setelah menjalani industrialisasi hampir satu abad,[3] Kestabilan polilik adalah prasyarat untuk membangun prasarana industri  dan selanjutnya pertumbuhan indusiri adalah prasyarat untuk mengembangkan kesejahteraan sosial.

Negara-negara berkembang ingin mencapai tiga tahap tersebut sekaligus: unifikasi, industrialisasi dan kesejahteraan sosial harus dicapai dalam waktu yang sama.[4]

Dewasa ini Indonesia menghadapi masalah yang serupa, bagaimana menghindari disintegrasi bangsa, dalam waktu yang sama memulihkan ekonomi  dari krisis yang berat, dan memperluas kesejahteraan sosial sampai mencapai masyarakal yang paling bawah.

Ancaman Disintegrasi Bangsa

Bibit disintegrasi bangsa yang dialami Indonesia dewasa ini lebih banyak dikarenakan tiadanya pembagian kekuasaan dan keuangan yang seimbang antara Pusat dan Daerah dimasa Ialu.

Disamping itu pelanggaran Hak-Hak Azasi  dan perusakan lingkungan telah-turut mendorong keinginan sementara pihak untuk memisahkan diri. Pergolakan daerah-daerah yang pernah terjadi pada tahun 1950an antara lain juga disebabkan tertinggalnya pembangunan setempat, pelaksanaan otonomi yang tak kunjung tiba, pembagian wewenang dan keuangan antara pusat dan daerah.[5] Ketidak puasan yang sama terus berlanjut setelah Tahun 1970an. disertai makin kuatnya desakan mulai dari yang lunak yaitu untuk mendapatkan bagian yang lebih besar bagi  daerah-daerah penghasil sumber daya alam sampai tuntutan yang paling keras untuk memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia.[6] Undang-Undang Otonomi Daerah dan  Undang-Undang Perimbangan Keuangan

Pusat -Daerah harus perlu di laksanakan segera untuk mengatasi gejolak-gejolak di beberapa daerah sekarang ini.

Pada waktu yang lalu peranan negara sangat menonjol sebagai agen pembangunan. Akibatnya hak-hak polilik warga negara kerapkali terdesak untuk memenuhi hak-hak sosial, ekonomi dan kebudayaan.[7] Hal ini lahir dari pandangan bahwa hak-hak polilik dan hak-hak warganegara menghambat pertumbuhan ekonomi. Kemajuan sosial dan ekonomi dapat dicapai dengan lebih efektif, bila usaha-usaha Pemerintah tidak dihalangi oleh oposisi.[8] Pandangan ini ternyata membawa krisis berat dibidang ekonomi, polilik dan hukum. Sebenarnya inti dari

Demokrasi adalah “sharing of power” diantara kelompok-kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakai national, termasuk hak untuk menyatakan pendapat dan bersaing mendapat kesempatan membuat atau mempengaruhi keputusan-keputusan. Unsur yang penting adalah terdapatnya mekanisme arus balik dan penyesuaian yang mendorong pemerimah menjawab dan menyesuaikan sikap terhadap pandangan-pandangan lain.[9]

Selanjutnya, dalam situasi perubahan sosial dimana individu,  kelompok, maupun suku terancam oleh kekuasaan negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya, hak-hak azasi manusia semakin menjadi sarana untuk menjamin keutuhan individu, kelompok, golongan atau suku.[10]

Pemulihan Ekonomi

Krisis ekonomi Indonesia antara  lain karena terjadinya moral  hazard  diberbagai sektor ekonomi dan politik. Permasalahan hazard sudah cukup luas dan mendalam. Dalam skala yang, faktor moral dan etika harus dimasukkan sebagai variabel ekonomi yang penting, khususnya dalam pola tingkah laku berekonomi dan berbisnis.[11]

Prinsip moral seperti kebenaran, kebaikan dan keadilan yang menjadi panutan individu sebagai anggota masyarakat, adalah sumber dan standar sikap tindak. Dari norma, kepercayaan, nilai, individu menciptakan etika, sistim dari  standar moral, yang melahirkan persoalan dasar dari tingkah laku sosial, seperti kehormatan, loyalitas, perlakuan yang adil terhadap pihak lain, menghormati kehidupan dan martabat manusia. Seperti hukum, etika mcnjadi sumber standar tingkah laku individu. Namun, tidak seperti hukum, etika tidak ditegakkan atau dipaksakan oleh kekuasaan dari luar seperti pemerintah atau negara. Standar etika berasal dari standar moral dari dalam individu dan ditegakkan oleh individu  yang bersangkutan. Melalui hukum masyarakat menegakkan aturan hukum untuk semua anggota masyarakat, standar moral bagi diri mereka sendiri.

Dalam penerapannya, tentu berbeda, berbohong secara moral adalah salah. Namun menurut hukum berbohong itu baru disalahkan bila menimbulkan kerugian pada pihak lain. Tidak etis, umpamanya, melanggar janji. Namun, hukum baru menyatakan salah bila orang melanggar janji yang dituangkan dalam kontrak. Perbedaan antara hukum dan moral adalah penting dalam mempelajari hubungan hukum dan bisnis karena kelompok bisnis sepanjang sejarahnya selalu menggunakan hukum sebagai standar dari tindakan-tindakan sosial mereka. Sebagai contoh perspektif tersebut, apa yang dikatakan oleh  seorang eksekutif yang dituduh memakai bahan murahan dan mungkin membahayakan dalam menghasilkan cairan pembersih mulut:

We broke no law. We’re in a highly competitive industry, if we’re going to stay in business, we have to take for profit wherever the law permits. We don’t make the laws. We obey them. Then why do we have to put up with this “holier than thou” talk about ethics? It’s sheer hypocrisy. We’re not in busines: to promote ethics. … if the ethics aren’t embodied in the laws by the men who made them, you can’t expect businessmen  to fill  the lack.[12]

Kutipan diatas menunjukkan, bahwa penegakkan etika bukanlah tanggung jawab orang bisnis, tetapi tugas negara untuk menuangkannya dalam peraturan perundang-undangan. Yang lainnya menganggap masalah etika diluar lingkup  keputusan bisnis. Hal ini dibantah oleh ahli ekonomi Milton Friedman[13] :

Corporate officials and labor leaders have a “social responsibility” that goes beyond serving the interest of their stockholders or  their members. This view shows a fundamental misconception of the character and nature of a free economy. In such an economy, there is one and only one social responsibility of business – to use its resources and engage in activities designed to increase its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, engages in open and free competition, without deception or fraud  …  Few trends could so thoroughly undetermine the very foundations of our free society as the acceptance by corporate officials of a social responsibility other than to make as much money for their stockholders as possible.

Belakangan ini bisnis telah berkembang, baik ukuran maupun pengaruhnya. Banyak orang mengakui bahwa bisnis adalah institusi ekonomi dan institusi social, Ini khususnya terbukti dalam kegiatan perusahaan besar, yang melibatkan tidak saja kepentingan pemegang saham, tetapi juga pemasok, konsumen, langganan, para pekerja dan kadang-kadang seluruh masyarakat. Orang kini beranggapan bahwa badan hukum (yang disamakan statusnya dengan orang) mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan manusia, yaitu menegakkan standar etika. Prof, Kenneth E. Goodpaster dan John B. Matthews, Jr, dari Harvard Business School menuangkan pendapat sebagai berikut[14] :

A corporation can and should have a conscience. The language of ethics does have a place in the vocabulary of an organization … Organizational agents such as corporations should be no more and  no less morally responsible (rational, self-interested, altruistic) than ordinary persons . . . Legal systems of rules and incentives are insufficient, even though they may be necessary, as frameworks for corporate responsibility. Taking conceptual cues from the features of moral responsibility normally expected of the person in our opinion deserves practicing managers’ serious consideration.

Kalangan bisnis harus tetap mempertimbangkan disamping aspek hukum, juga tanggung jawab moral dari kegiatan mereka. Walaupun dunia bisnis mengakui kewajiban untuk berperilaku etis, tetapi menemui kesulitan  untuk mengembangkan dan menerapkan prosedur untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan yang semakin berkembang bahwa masalah moral muncul dari segala aspek kegiatan bisnis.

Menurut tradisi,  membicarakan etika bisnis terbatas pada topik tertentu seperti iklan yang menyesatkan, itikad baik dalam negosiasi kontrak, larangan penyuapan. Dewasa ini. masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab moral dari bisnis berkembang dari keputusan pemasaran seperti melanggar etika menjual produk yang berbahaya. Masalah pemberian upah yang adil, tempat kerja yang melindungi kesehatan dan keselamatan buruh, etika dalam merger dan akuisisi, sampai kepada kerusakan lingkungan. Pendeknya semua keputusan bisnis, khususnya yang menimbulkan ketidakpastian dan konsekwensi  yang berkepanjangan, yang mempengaruhi banyak individu, organisasi lain dan bahkan kegiatan pemerintah, dapat menghadirkan masalah etika yang serius.

Didalam kenyataannya etika yang ditegakkan atas dasar kesadaran individu-individu tidak dapat berjalan  karena tarikan berbagai kerpentingan, terutama untuk mencari keuntungan, tujuan yang paling utama dalam menjalankan bisnis, Oleh karenanya, standar moral harus dituangkan dalam aturan-aturan hukum yang diberikan sanksi. Disinilah letaknya campur tangan negara dalam persaingan bebas dan kebebasan berkontrak, untuk melindungi pihak yang lemah. Oleh karena itu hukum juga sepanjang sejarahnya bersumber pada dan mengandung nilai-nilai moral. Dalam hubungan ini menjadi penting pelakaanaan yang sungguh-sungguh dari Undang-Undang Larangan Monopoli dan Persaingan Curang.[15]

Selanjutrrya, program tegislasi nasional dimasa datang ini perlu memberikan prioritas pada undang-undang yang berkaitan dengan akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan dan demokratisasi ekenomi untuk mencapai efesiensi, memenuhi fungsi hukum sebagai fasilitator bisnis. Optimalisasi sumber pembiayaan pembangunan memerlukan pembaruan Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Pasar Modal. Indonesia juga harus memiliki undang-undang  ‘money laundering”  antara lain untuk memberantas kejahatan narkotika dan korupsi. Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan “stability”, ‘predictability” dan “fairness”.

Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim  ekonomi apa saja untuk berfungsi Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan  (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang traditional. Aspek keadilan  (fairness),  seperti perlakuan yang sama dan standard pola tingkah  laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.[16]

Memperluas Kesejahteraan Sosial

Dari sudut sejarah hukum, suatu bangsa memasuki tahap negara kesejahteraan ditandai dengan berkembangnya hukum yang melindungi pihak yang lemah. Pada periode ini negara mulai memperhatikan antara  lain perlindungan tenaga  kerja, perlindungan konsumen, perlindungan usaha kecil dan perlindungan lingkungan hidup. Undang-Undang yang berkenaan untuk perlindungan berbagai pihak tersebut untuk mengoreksi industrialisasi yang tidak selalu memberikan kebaikan kepada semua golongan masyarakat.[17]

Upah yang rendah tidak selalu berarti upah yang murah, Semula upah buruh yang murah dibandingkan dengan negara maju telah memberikan keuntungan komparatif bagi industri export Korea Selatan, Taiwan dan Hong Kong. Upah buruh murah disertai disiplin para  pekerja dinegara-negara yang baru memasuki tingkat negara industri tersebut, seperti banyak  diketahui, berada dibawah pemerintahan yang represif.[18]

Upah minimum yang telah ditetapkan oleh  Pemerintah yang masih berada dibawah tingkat pemenuhan kebutuhan dasar, masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak mematuhinya, namun buruh yang tidak mempunyai  organisasi buruh yang kuat tidak dapat memperjuangkan hak-haknya. Disamping itu ketatnya persaingan di pasar kerja dan krisis ekonomi yang berat menjadikan buruh tidak  mempunyai keberanian untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka. Indonesia memerlukan serikat buruh yang kuat dalam memperjuangkan nasib buruh, sehingga tidak perlu menggunakan  kekerasan dan pengrusakan. Modal selalu berpindah ketempat dimana ada buruh murah  dan penegakan hukum perburuhan yang lunak. Inilah perlunya pembaruan Hukum Perburuhan.[19]

Berkembangnya produk-produk industri disatu pihak memerlukan perlunya dikembangkan perlindungan konsumen dipihak lain. Perlindungan hukum terhadap konsumen tidak saja terhadap  barang-barang berkualitas rendah tetapi juga terhadap barang-barang yang membahayakan kehidupan manusia, umpamanya makanan, minuman dan obat-obatan. Pelaksanaan hukum  perlindungan konsumen di Indonesia belum berkembang mengikuti irama kemajuan produksi-produksi dunia industri.[20] Pencemaran lingkungan akibat industrialisasi perlu pula mendapat perhatian yang terus menerus dan khusus. Kecenderungan untuk mengutamakan pertumbuhan industrialisasi bisa mengakibatkan perusahaan-perusahaan menolak tanggung jawab atas pencemaran lingkungan. Pengalaman dari negara-negara maju menjadi bahan pelajaran bagi kita dalam usaha kita menuju suatu negara industri. Ada kekhawatiran pula bahwa relokasi  industri dari negara-negara maju ke negara berkembang disebabkan antara lain tambah ketatnya penegakan hukum lingkungan disana. sementara di negara berkembang hal itu belum terjadi.[21]

Sektor informal telah diakui sebagai katub pengaman bagi tenaga kerja yang pindah dari sektor agraria tetapi tidak dapat ditampung oleh sektor industri. dan merupakan motor penggerak ekonomi rakyat. Perkembangan sektor informal sudah menjadi ciri yang dominan dalam perkembangan ekonomi masyarakat bawah didunia ketiga. Melalui hukum, sektor informal ini bisa menjadi formal dalam bentuk usaha-usaha  kecil. Berbagai usaha kecil ini dalam tahap berikutnya dapat terkait dengan  usaha besar, dengan demikian diharapkan rezeki usaha besar akan menetas juga kepada bisnis usaha kecil.

Untuk mengembangkan mereka perlu dipikirkan bentuk -bentuk perizinan khusus untuk sektor informal, fasilitas hukum dalam hubungannya dengan hak milik, kontrak, dan sebagainya. Keterkaitan industri besar dengan industri-industri kecil bukan saja berdasarkan belas kasihan alau alasan-alasan politis, tetapi sudah menjadi suatu keharusan karena alasan efisiensi dan teknis dalam suatu masyarakat industri.

Dalam hubungan ini perlindungan terhadap usaha-usaha kecil perlu mendapat perhatian hukum. Industrialisasi dan majunya perdagangan membutuhkan tanah baik di desa-desa maupun kota-kota. Jawa dan luar Jawa. Masalah pertanahan semakin hari akan semakin banyak, jika hukum pertanahan kita tidak mampu memainkan peranannya, Pihak yang lemah yang sebagian besar adalah rakyat kecil akan memikul beban pembangunan tersebut, Dalam hal ini perlu diperjelas penyelesaian masalah-masalah yang bersangkutan dengan umpamanya, tanah adat, tanah negara, besarnya ganti rugi. Begitu juga perencanaan wilayah yang bersangkutan dengan tanah pertanian yang subur. daerah pemukiman, perdagangan dan industri. Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian rnemerlukan kepastian hukum akan tersedianya atau tetap dipertahankannya lahan-lahan pertanian yang subur dari meluasnya keperluan tanah untuk industrialisasi, pemukiman, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Sudah waktunya melaksanakan pembaruan Undang-Undang Pokok Agraria dan penyusunan Undang-Undang Penataan Ruang.

Aparatur dan Budaya Hukum

Uraian tersebut diatas baru menyinggung substansi hukum, salah satu unsur dari sistem hukum. Tidak kurang pentingnya. Bahkan amat menentukan, untuk mengadakan pembaruan dua unsur lainnya yaitu pembaruan aparatur hukum dan budaya hukum (legal culture).

Pertama, penguatan badan legislatif, eksekutif dan yudikatif  amat mendesak untuk mencapai tiga tujuan pembangunan tersebut sekaligus. Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan-badan tersebut harus mencerminkan keseimbangan tiga nilai yang saling bersaing: persatuan bangsa, pemulihan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Bagaimana suatu Undang-Undang yang diajukan oleh badan legislatif atau eksekutif dan Keputusan-Keputusan Pengadilan mampu mengakomodasi ketiga nilai tersebut. Sudah waktunya DPR  mendapatkan bantuan tenaga ahli berbagai bidang. Disamping itu menentukan juga adanya Pengadilan yang mandiri dan bersih.[22]

Untuk ini perubahan beberapa undang-undang yang menyangkut kekuasaan kehakiman mutlak dilakukan. termasuk dimungkinkannya hakim diangkat dari luar lingkungan Pengadilan, asal memenuhi syarat keahlian dan integritas.[23]

Kedua, Friedman mengatakan bahwa budaya hukum  (legal culture)  adalah unsur yang utama untuk dapatnya suatu sistim hukum berjalan. Yang dimaksudkan dengan budaya hukum adalah persepsi masyarakat terhadap hukum  dan sistim hukum, pandangan, nilai, idea dan pengharapan-pengharapan mereka terhadap hukum.[24]

Kita memerlukan “legal culture” yang secara serentak dapat mendukung tiga tipe hukum, sarjana hukum dan institusi hukum; yaitu, dapat mencegah disintegrasi.yang ahli untuk ikut memulihkan ekonomi dan yang dapat mendorong  keadilan sosial, kesejahteraan manusia, distribusi yang adil akan hak dan kewajiban, tugas dan beban. Disamping itu, untuk mencapai tiga tujuan tersebut sekaligus terdapat  kebutuhan yang besar akan kemampuan untuk menyeimbangkan tiga nilai-nilai yang berbeda dalam proses pembuatan keputusan, bagaimanapun juga konflik tidak dapat dihindarkan, tetapi suatu masyarakat yang stabil dapat menemukan jawabannya. Umpamanya, metode yang paling langsung untuk mengatasi gerakan separatis mungkin dengan menggunakan kekuatan militer, Namun penggunaan kekerasan, bukan pilihan yang selalu tepat, Reaksi terhadap tindakan yang semacam itu mungkin bisa mengurangi kepercayaan investor, terganggunya prasarana ekonomi Setempat dan keengganan masyarakat lokal untuk mengambil bagian dalam proses mobilisasi sosial. Begitu juga, kesejahteraan sosial mungkin bisa dicapai dengan memberikan setiap orang menurut  apa yang ia perlukan, Namun langkah tersebut dapat mengikis secara perlahan persatuan nasional, yang secara normal harus membuat konsesi kepada ekonomi regional yang berbeda dan pembangunan ekonomi yang memerlukan insentif keuangan. Contoh lain adalah bagaimana suatu industri tetap dapat berjalan tanpa mengakibatkan pencemaran lingkungan atau pengusahaan hutan tanpa menghilangkan hak-hak masyarakat lokal.

Penutup

Sampai hari ini ibu Indonesia sedang bersedih, kita turut merasakannya. Kekerasan telah mengambil jiwa putera-puterinya, yang tidak jelas karena apa dan untuk apa. Sebagian keluarga besar Indonesia terpecah, sebagian ingin memisahkan diri, yang lainnya tetap berusaha untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, Adalah tugas kita semua untuk memperbaiki kekeliruan masa lalu, menjadikan hukum yang demokratis  dapat tetap mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hingga ke akhir zaman, yang ekonominya terus tumbuh dan hasilnya merata. Indonesia yang dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain pada abad yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

Ari, Muhammad Arief, dkk. menuju Independensi Kekuasan Kehakiman. (Jakarta : ICEL – LEIP, 1999).

Atkinson, Jeff APEC – Winners and Loser. (Deakin : Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), 1995).

Banerand, Joanne R. – Bell, Daniel A. (Eds).The East Asian Challenge  For Human Rights. (Cambridge : Cambridge University Press. 1999).

Barch. Russel Lawrence “Democratization and Development”, Human Rights Quaterly vol. 14 (1992).

Bora, Bijit and Pangestu (Eds), Mari . Priority Issues in Trade and Investment Liberalization: Implications for the Asia Pacific Region- (Singapore : Pacific Economic Cooperation Council. 1996).

Bourgeois,Jazques H.J. Frederique Berrod & Eric Gippini Fournier (Eds). The Uruguay Round Results – A European Lawyers Perspective. (Brussels : European Interuniversity Press, 1995).

Ehrmann, Henry W. Comparative Legal Cultures, (Englewood Cliffs, N.J : Prentice Hall, Inc. 1976).

Franck, Thomas M. “The New Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries?”. Wisconsin Law Review No. 3 (1972).

Frank, Jerome Courts on Trial – Myth and Reality in American Justice. (Princeton : Princeton University Press, 1973).

Friedman, Lawrence M. American Law. (New York : W.W. Norton & Company, 1984).

Gould, William B. Agenda For Reform  the future of employment Relationships and the law (Cambridge: The MIT Press, 1996). Hak Azasi Manusia Dalam   Perspektif  Budaya Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,1977).

Harman, Benny Konfigurasi politik & kekuasaan kehakiman di Indonesia. (Jakarta : Elsam, 1997).

Hager.   L. Michael, “The Role of Lawyers in Developing Countries”, 58 ABAJ 33 (1972).

Horwitz,  Morton J. The.Transformation of American Law 1780 -I860, (Cambridge : Harvard University Press, 1977).

Indrawati, Sri Mulyani “Krisis Ekonomi Indonesia dan Langkah Reformasi”. pidato ilmiah disampaikan pada Dies Natalis Universitas Indonesia ke-48,7 Februari 1998.

Jacob, Herbert et all Courts. I,aw and folitics  in comparative Perspective, (New Haven, Yale University Press, 1996),

Kamaluddin, Ade – Marasabessy, Nasit – Mile, Jusuf (Eds). Menuju Masyarakat Cita : Refleksi Atas Persoalann-persoalan Kebangsaan. (Jakarta : Badan Koordinasi HMI Maluku-Irian Jaya, 1999).

Leirissa, R.Z, PRRI-PERMESTA. (Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 1991).

Lindsey. Timothy Indonesia Law and Society. (Sidney ; The Federation Press, 1999).

Mann,Richard (Alih Bahasa. Maria Irawati Yulianto, SS). Memperjuangkan Demokrasi di Indonesia. (Jakarta; Handal Niaga Pustaka, 1999).

Mardjono,   Hartono “Solusi Pergerakan Daerah.  Perspektif Keutuhan Negara Republik Indonesia,” Republika, 12 Januari 2000.

Mendelson, Wallace “Law and The Development of Nations”, The Journal of Politics, vol. 32 (1970).

Nasution, Anwar “Lessons From The Recent Financial Crisis in Indonesia”,    dalam    Sustaining    Economic    Growth    in Indonesia: A Framework For The Twenty – First Century  (Jakarta: USAID, LPEM-UI, ACAES, REDECON, 1999).

Osinbajo, Yemi and Olukonyisola, “Human Rights  and Economic Development in Developing Countries”, The International Lawyer vol. 28 No. 3 (Fall 1994).

Pistor, Katharina and Wellons, Philip A. et all. The Role of Law  and Legal Institutions   in Asian Economic Development  1960-1995. (Hongkong: Oxford University Press, 1998).

Rahardjo,  M.  Dawam.   Tantangan Indonesia sebagai Bangsa. (Yogyakarta: UII Press. 1999).

Roszkowski. Mark E. Basiness Law principles, Cases, and Policy. (Urbana: Harper  Collins Publishers, 1989).

Reformasi Hukum di Indonesia (Terjemahan: Diagnastic Assessment of Legal Development in Indonesia World Bank Project) (Jakarta : PT. Siber Konsultan, 1999).

Song, Ligang Changing Global Comparative Evidence from Asia and the pacific. (Melbourne : Addison Wesley Longman Australia Pty Limited, 1999).

Theberge, Leonard J. “Law and Economic Development “ , Journal of International Law and Politic vol. 9 (1980).

Tjokrosuwarno. Charmeida “Strategi Pemulihan Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu 1999”,  Bisnis  & Ekonami Politik vol. 3(2) April 1999.

Undang-Undang   No.   8   Tahun   1999   tentang Perlindungan Konsumen.

Wibisono. Christianto Menelusuri Akar Krisis Indonesia. (Jakarta: PT, Gramedia Pustaka Utama, 1998).


[1] L. Michael Hager, “The Role of Lawyers in Developing Countries”, 58 ABAJ 33 (1972). Lihat juga Katharina  Pistor and Philip A. Wellons, et all. The  Role of Law and Legal Institutions in Asian Economic Development 1960-1995.(Hongkong : Oxford University Press, 1998).h.36-37.

[2] Thomas M. Franck,”The New Development : Can American Law and Legal institutions Help Developing Countries? “, Wisconsin Law Review No.3 (1972) h. 778. 2

[3] Wallace Mendelson. “Law and the Development of Nations,” The Journal of Politics vol. 32 (1970) h. 224-225.

[4] Thomas M. Franck, op.cit. h. 771

[5] R.Z. Leirissa. PRRI-PERMESTA. (Jakarta : PT.Pustaka  Utama  Grafiti,199)h  49-52, 86-88,97. Lihat juga Richard Mann. (Alih Bahasa, Maria Irawati Yulianto, SS). Memperjuangkan Demokrasi di Indonesia. (Jakarta: Handal Niaga Pustaka,1999) h. 215-225

[6] Hartono Mardjono, “Solusi Pergerakan Daerah, Perspektif Keutuhan Negara Republik Indonesia,” Republika,12 januari 2000, h. 6. Lihat juga Herman Haeruman,”Pemberadayaan Ekonomi Kawasan Dalam mengantisipasi perimbangan keuangan Pusat-Daerah”,dalam Ade Kamaluddin,Nasit Marasabessy, jusuf Mile (Ed).Menuju Masyarakat Cita ; Refleksi Atas persoalan-persoalan kebangsaan.(Jakarta : Badan Koordinasi HMI Maluku – Irian jaya, 1999), h.84. M. Dawam Rahardjo. Tantangan Indonesia sebagai Bangsa. (Yogyakarta : UII Press,1999).

[7] Yemi Osinbajo and Olukonyisola, “human Rights and Economic Development in Developing Countries”, The International Lawyer vol. 28 No. 3 (Fall 1994), h. 728.

[8] Amartya Sen, “Human Rights and Economic Achievements”, dalam Joanne R. banerand Daniel A.Bell (Eds). The East Asian Challenge For Human Rights. (Cambridge : Cambridge University Press.1999) h. 9091.

[9] Russel Lawrence Barch, “Democratization and Development”, Human Rights Quarterly Vol. 14 (1992) h.121.

[10] Franz Magnis-Suseno,”Hak-Hak Azasi Manusia Dalam Konteks sosio kultural dan Religi di Indonesia,” dalam Hak Azasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,1997) h. 56-57.

[11] Charmeida Tjokrosuwarno, “Strategi Pemulihan Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu 1999”, Bisnis & Ekonomi Politik Vol 3(2) April 1999, h. 35-39-40. Lihat juga Anwar Nasution,”Lessons From The Recent financial Crisis in Indonesia”, dalam Sustaining economic Growth in Indonesia: A framework for the twenty-first Century. (Jakarta : USAID, LPEM-UI, ACAES, REDECON, 199). h. 53. Sri Mulyani Indrawati,”Krisis Ekonomi Indonesia dan Langkah Reformasi”, Pidato ilmiah disampaikan pada dies natalis universitas Indonesia ke-48, 7 Februari 1998, h. 6-7.

[12] Carr, “Is Business Bluffing Ethical?” Harvard Business Review (January February 1968), h.148 dalam Mark E.Roszkowski. Bussiness Law-Princeples, Cases, and policy. (Urbana: Harper Collins Publisher, 1989) h.6.

[13] Friedman,Capitalism And Freedom 133 (1962) dalam Mark E.Roszkowski, Business Law-Principles, Cases, and Policy, (Urbana: Harper Collins Publisher, 1989) h.6

[14] Goodpaster and Matthews,”can a coiporation have a conscience?”,  Harvard Business Review (January/February 1982) h. 138 dalam Mark E.Roszkowski.Business Law- Principles, Cases, And Policy. (Urbana : Harper Collins Publisher,1989) h.6.

[15] Christianto Wibisino, Menelusuri Akar Krisis Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,1989) h.244-261.

[16] Leornard J. Theberge,”Law and Economic Development”, Journal of International Law And Politic Vol. 9 (1980) h. 232.

[17] Lihat antara lain, Morton J. Horwitz. The Transformation of American Law 1780-1860. (Cambridge : Harvard University Press, 1977). h. 253-254.

[18] Mengenai Peranan Buruh dalam Industrialisasi . Lihat, antara lain Ligang Song. Changing Global Comparative Advantage : evidence From Asia and the Pacific. (Melbourne : Addison Wesley Longman Australia Pty Limited, 1999). h. 122-127.

[19] Mengenai Perlindungan Buruh di Negara-Negara Maju, lihat antara lain William B. Gould IV. Agenda. For The Future of Employment Relationships and the Law. (Cambridge : The MIT Press, 1996). h. 198-203.

[20] Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen baru akan berlaku bulan April 2000.

[21] Jeff Atkinson. APEC – Winners and Loser. (Deakin : Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), 1995). h. 74-85. Mengenai hubungan GATT dan Lingkungan Hidup lihat Jazques H.J. Bourgeois, Frederique Berrod & Eric Gippini Fournier(Eds). The Uruguay Round Results – A European Lawyers Perspective. (Brussels : European Interuniversity Press,1995). h 316. Lihat Juga Merje Russ, “the Trade Environment debate and its implications for The Asia Pacific “, Dalam Bijit Bora and mari Pangestu (EDS). Priority Issues In Trade And Investment Liberalization; Implication for the Asia Pacific Region. (Singapore : Pacific Economic Cooperation Council, 1996) h. 167-173.

[22] Sebagai perbandingan lihat Jerome Frank.Courts on Trial-Myth and Reality in American Justice. (Princeton University Press, 1973) h. 5-13. Herbert Jacob, et all courts, Law and politics in Comperative Perspective. (New Haven, Yale University Press,1996) h. 389-400. Lihat juga Simon Batt. ”The eksexusi of the Negara Hukum : Implemention Judicial Decisions in Indonesia”, dalam Timothy Lindsey. Indonesia Law and Society. (Sidney: The Federation Press,1999) h.248-254. Benny K.Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. (Jakarta : Elsam, 1997) h.404-444.

[23] Mengenai perbaikan Lembaga peradilan lihat antara lain Ari Muhammad Arief, dkk, Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman.(Jakarta : ICEL-LEIP,1999). h.33-64. Reformasi Hukum di Indonesia (Terjemahan; Diagnostic Assesment of Legal Development in Indonesia World Bank Project) (Jakarta : PT. Siber Konsultan,1999) h. 133-141.

[24] Henry W. Ehrman,Comparative Legal Cultures. ( Englewood Cliffs,N.J : Prentice Hall,Inc 1976) h.9 Lawrence M. Friedman, American Law. (New York : W.W. Norton & Company, 1984) h. 6-7, 218-224.

BIOGRAFI

Posted: Desember 15, 2010 in Uncategorized

Amirlah Jeni lahir di Selatpanjang Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Indonesia, 09 Mei 1989 dari pasangan Ahmad Jenin (Ayah) dan Sarmiah (Ibu). Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia menamatkan pendidikan Sekolah Dasar  di SD Negeri 017 Selatpanjang tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Selatpanjang tahun 2004, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Selatpanjang dan menamatkan strata satu (S.1) di Jurusan Ilmu Komunikasi UIN SUSKA Riau pada tahun 2011 untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom) dengan judul skripsi “Komunikasi Organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Riau”.

Selain aktif diperkuliahan, ia juga akfif diorganisasi kemahasiswaan maupun organisasi kemasyarakatan diantaranya :

  1. Sekretaris Umum Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Tariq Bin Ziyad Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN SUSKA Riau tahun 2008 s.d 2009.
  2. Ketua Umum Persatuan Alumni ROHIS SMA Negeri 1 Selatpanjang Kab. Kep. Meranti tahun 2008 s.d 2010.
  3. Ketua Umum Pemuda dan Remaja Masjid Hikmah Kelurahan Sukajadi Kota Pekanbaru tahun 2008 s.d 2011
  4. Sekretaris Umum Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Pekanbaru tahun 2009 s.d 2010.
  5. Sekretaris Umum Dewan Pengurus Kecamatan BKPRMI Sukajadi tahun 2010 s.d sekarang
  6. Sekretaris Umum DPD IMM Provinsi Riau tahun 2010 s.d sekarang.
  7. Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tadjid PW. Muhammadiyah Provinsi Riau 2010 s.d sekarang.

Sebelum menyelesaikan studi strata satu (S.1), pada tahun 2010 ia melaksanakan pengabdian kepada masyarakat yang berbentuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Dayun Kecamatan Dayun Kabupaten Siak. Pada awal tahun 2011 beliau melaksanakan magang di Bagian Publikasi Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Daerah Provinsi Riau. Setelah menyelesaikan magang beliau langsung direkrut menjadi Honorer Kontrak di Bagian Publikasi Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Daerah Provinsi Riau yang bertugas menyiapkan sambutan/pidato dan presentasinya Gubernur Riau.

Orientasi mahasiswa untuk kuliah pada umumnya adalah untuk dapat memperoleh pekerjaan dengan posisi yang cukup “baik”, walaupun ada yang mempunyai tujuan-tujuan “ideal” lainnya, orientasi ini kemudian saling pengaruh-mempengaruhi kondisi objektif yang mereka alami dikampus (kondisi birokrasi, kelembagaan dan hubungan sosial) proses dialektika tersebut kemudian secara umum melahirkan tipologi sbb:

Mahasiswa Profesional
Mahasiswa tipe ini adalah mahasiswa yang aktifitasnya sebagian besar dipusatkan untuk dapat memperoleh nilai yang baik, kerjanya belajar dan belajar, dan cenderung apatis terhadap masalah-masalah disekelilngnya.

Mahasiswa Pragmatis
Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa yang mengandalkan kecakapan mereka dalam berinteraksi untuk dapat menonjol diantara kawan-kawannya, kecenderungan mereka adalah mencari muka didepan birokrat-birokrat kampus.

Mahasiswa Trend Setter (Hedonis)
Mahasiswa tipe ini adalah orang-orang yang mengalami disorientasi dalam proses belajar-mengajar dalam perkuliahan, kerja mereka kebanyakan hanya diisi dengan kegiatan foya-foya, berdandan habis-habisan, dan menghamburkan uang tanpa tujuan yang jelas.

Mahasiswa Kritis
Mahasiswa jenis ini adalah mahasiswa yang mempunyai kecenderungan berfikir kritis, ia menjadi seorang yang mau memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh komunitasnya, mempunyai pandangan dan analisa yang mendalam persoalan-persoalan yang dihadapi baik di dunia kampus maupun di luar kampusnya.

Memahami peran dan posisi sebagai mahasiswa merupakan langkah awal yang harus dipahami oleh seorang mahasiswa, mengingat posisi mahasiswa dimata masyarakat yang merupakan kelas menengah yang masih diuntungkan baik secara ekonomi maupun politik. Namun ada hal yang mendasar yang menyebabkan mahasiswa memiliki posisi tawar tinggi dimata massa rakyat, dikarenakan mahasiswa kekuatan tersendiri seperti di sebutkan di atas. Inilah yang kemudian menyebabkan mahasiswa memiliki posisi tawar (bergaining position) yang cukup bagus dimata rakyat, sehingga hal tersebut dinggap sesuatu yang strategis.

Sedangkan peran mahasiswa sendiri sebetulnya dapat dikategorikan menjadi dua.Diantaranya mahasiswa mampu memerankan dirinya sebagai agent of change dan agent of control. Agent of change maksudnya adalah mahasiswa selalu menjadi pelopor dalam setiap gerak perubahan kearah yang lebih baik termasuk dalam persoalan negara. Sementara peran mahasiswa sebagai agent of control berkaitan dengan kemampuan mahasiswa dalam mengontrol kebijakan yang ditelurkan oleh penguasa.Apakah kebijakan tersebut berpihak kepada masyarakat atau tidak, sehingga oreantasi perubahan dapat diawasi setiap saat.

Persoalannnya”apakah kita sebagai mahasiswa sudah memahami peran dan posisinya, dan pertanyaan tersebut tentunya ada dua jawaban yang muncul kepermukaan antara ya dan tidak.Akan tetapi jawaban tersebut tidak penting untuk diperdebatkan, karena persoalan sudah dipahami atau tidaknya akan peran dan posisi mahasiswa tanpa implementasi kedalam sebuah sikap maupun gerak, sama halnya bahwa peran sebagai agent of change dan agent of control hanyalah mitos belaka.

Hello world!

Posted: Desember 15, 2010 in Uncategorized

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!